Banyak game developer lokal bikin game yang keren, dari segi artstyle, mekanik, sampai konsep. Tapi tetap aja nggak ada yang mainin. Masalah ini nggak cuma kamu yang ngalamin. Lucky Putra Dharmawan, CEO dari Eternal Dream Studio, juga pernah ada di posisi yang sama.
Waktu itu, dia ngerilis game pertamanya. Secara kualitas, udah sesuai visi. Visual kuat, gameplay solid. Tapi kenyataannya? Gamenya sepi peminat. Bukan karena jelek, tapi karena strategi marketing dan pemahaman audiensnya belum tepat.
Fokus ke Diri Sendiri
Waktu masih awal, Mas Lucky cuma mikirin satu hal: bikin game yang udah sesuai dengan visi. Masalahnya, kalau kita bikin game hanya untuk diri sendiri, kita juga cuma bisa berharap diri sendiri yang main.
Itulah jebakan umum buat banyak developer indie: terlalu fokus ke “passion project” tapi lupa siapa yang akan mainin game itu. Sementara di luar sana, ratusan game rilis tiap hari. Kalau kita nggak ngerti siapa audience kita, game kita bakal ketelen algoritma.
Pahami Target Audiens
Kunci pertama: kenali dulu siapa yang kamu tuju. Audience beda-beda tergantung genre, gaya visual, bahkan platform tempat mereka main. Misalnya, game cozy pixel-art seperti Potion Permit cocok buat pemain casual dan fans Stardew Valley. Tapi kalau kamu targetin player yang suka Genshin Impact, kamu butuh pendekatan beda, lebih ke eksplorasi dan visual yang memanjakan mata.
Dengan ngerti siapa audience kita, jadi lebih gampang nentuin:
-
Genre yang sesuai
-
Visual style yang pas
-
Fitur yang relevan
- Cara komunikasi yang tepat
Baca Juga! Why Cool-Looking Indie Games Still Flop: Lucky’s Wake-Up Call
Bukan Cuma Visual
Kadang kita merasa game kita “keren banget” karena visualnya bagus, UI-nya clean, atau animasinya mulus. Tapi kenyataannya, player gak cuma nyari visual. Mereka nyari koneksi emosional.
Yang mereka cari itu jawaban dari:
“Kenapa aku harus main game ini?”
“Pengalaman apa yang bakal aku dapet?”
Kalau kamu gak bisa jawab itu, seberapa kerennya pun gamemu, player bakal lewat aja.
Visibility Itu Kunci
Masih banyak developer yang mikir: “Gue upload aja di Steam/Play Store, nanti juga ada yang nemu.” Sayangnya, algoritma nggak bisa diandelin gitu aja. Game kamu harus bisa ditemukan.
Strategi discoverability wajib disiapin dari awal:
-
Optimasi halaman store
-
Trailer yang engaging
-
Review awal dari komunitas
- Kampanye pre-launch di sosial media
Kalau semua itu disiapin, algoritma akan bantu dorong gamemu ke lebih banyak orang.
Adaptif dan Strategis
Begitu lihat game pertamanya nggak works, Mas Lucky belajar dari pengalaman, mulai riset, dan menyesuaikan pendekatannya. Dia tetap bikin game yang dia suka, tapi juga mikir gimana caranya biar yang lain juga suka.
Hasilnya? Game berikutnya nggak cuma jalan, tapi juga ngebantu studionya bertahan.
Ini bukan berarti kamu harus ngikutin tren semata. Tapi gabungan antara apa yang kamu suka dan apa yang dibutuhin market itu powerful banget.
Seperti yang Mas Lucky bilang:
“Jangan cuma bikin apa yang lu suka. Pikir juga siapa yang akan mainin game ini.”
Bisa jadi game kamu bukan gagal karena kualitasnya kurang, tapi karena belum ada yang benar-benar ngeh kalau mereka sebenarnya butuh game kayak gitu. Kadang masalahnya bukan di produk, tapi di cara kita ngenalin produk itu ke orang yang tepat.
View this post on Instagram
Referensi:
Lucky Putra Dharmawan – CEO Eternal Dream
Eternal Dream Studio – Pengembang Game